Konflik Politik Luar Negeri Indonesia Pada Masa Konfrontasi Militer dengan Malaysia
Perubahan kekuatan besar pasca Perang Dunia II melahirkan dua kekuatan besar dunia, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kekuatan besar ini saling berebut pengaruh. Amerika Serikat bersama sekutunya membentuk aliansi yang disebut sebagai blok Barat, sedangkan Uni Soviet bersama sekutunya membentuk sebuah aliansi yang disebut sebagai blok Timur. Pada tahun 1955, Indonesia menginisiasi Konferensi Asia Afrika di Bandung, dan menjadi langkah awal pembentukan Organisasi Gerakan Non-Blok. Pada masa ini, Indonesia memiliki pandangan untuk tidak berpihak pada kekuatan besar manapun melalui Gerakan Non-Blok.
Pasca kemerdekaan, Indonesia masih mengalami instabilitas politik dalam negeri, khususnya pemberontakan yang timbul seperti Pemberontakan PKI 1948, DI/TII, dan PRRI dan Permesta pada dekade 50-an. Pemberontakan-pemberontakan tersebut timbul sebagai akibat dari terbagi-baginya faksi-faksi politik di Indonesia yang berusaha menjegal kesatuan negara. Menurut Ricklefs dalam bukunya, A History of Modern Indonesia since c.1300, Pemberontakan PRRI dan Permesta bahkan mendapatkan dukungan dari Amerika Serikat. Pemberontakan PRRI dan Permesta pada akhirnya dapat dihancurkan oleh pemerintah. Keterlibatan Amerika Serikat dalam pemberontakan tersebut membuat hubungan bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat kemudian memburuk. Hal tersebut kemudian segera dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia untuk menyuarakan semangat anti-Amerika.
Setelah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, Indonesia kembali menggunakan Undang-Undang Dasar 1945. Pada tanggal 17 Agustus 1959, Soekarno memberikan pidatonya mengenai Manifesto Politik Indonesia yang dikenal sebagai Manipol USDEK (Manifesto Politik Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Manifesto Politik ini menjadi penanda dimulainya demokrasi terpimpin dimana Indonesia bersifat sangat keras dalam menentang neo kolonialisme dan imperialisme (nekolim).
Soekarno terus mengkampanyekan perjuangan melawan nekolim dan menyebut secara eksplisit, Inggris dan Amerika Serikat sebagai agen nekolim. Keadaan ini kemudian semakin memperburuk hubungan Indonesia dengan negara-negara blok Barat. Indonesia tampaknya sudah mulai membangun relasi yang akrab dengan negara-negara Blok timur, khususnya Uni Soviet.
Menurut Susanne Birgerson dalam sebuah artikel yang berjudul The Evolution of Soviet Foreign Policy in Southeast Asia: Implications for Russian Foreign Policy, Kebijakan luar negeri Uni Soviet awal di Asia Tenggara memiliki dua tujuan utama, yaitu dalam bidang keamanan (mengungguli Amerika Serikat dan RRC) dan kemajuan ideologi komunis yang didasarkan pada Marxisme-Leninisme. Uni Soviet bersama dengan RRC berpartisipasi dalam membantu organisasi gerakan komunis. Kebijakan luar negeri Uni Soviet tersebut membuat Indonesia semakin dekat dengan Uni Soviet, salah satunya dengan bantuan yang diberikan oleh Uni Soviet dalam usaha Indonesia merebut kembali Irian Barat dari Belanda. Kedekatan Indonesia dengan Uni Soviet kemudian semakin memperburuk hubungan Indonesia dengan negara-negara blok Barat dan menimbulkan kecurigaan bahwa Indonesia telah disusupi oleh komunisme dimana PKI cenderung menguasai perpolitikan Indonesia (Gordon dalam The Potential for Indonesian Expansionism).
Baca juga : Bintang Hollywood hingga K-Pop: Begini Kiprah Gosha Rubchinskiy di Dunia Fashion Internasional
Konfrontasi Indonesia dan Malaysia adalah konflik bersenjata antara Indonesia dan Malaysia antara tahun 1963 hingga tahun 1966. Konfrontasi ini dipicu oleh penentangan yang dilakukan Indonesia, yang pada masa itu dipimpin oleh Presiden Soekarno terhadap pembentukan Federasi Malaysia, setelah lepas dari jajahan Inggris. Pembentukan Federasi Malaysia ini dianggap sebagai usaha Inggris untuk membentuk pengaruhnya di Asia Tenggara. Soekarno menentang hal tersebut yang dianggap sebagai bentuk neo kolonialisme dan imperilaisme (nekolim). Oleh karena itu, Soekarno berusaha untuk menggagalkan pembentukan Federasi Malaysia.
Inggris yang ingin menyudahi pemerintahan kolonialnya di wilayah Asia Tenggara ingin agar negara-negara bekas koloninya di Asia Tenggara ini bersatu dengan Federasi Malaya yang sudah merdeka pada tanggal 31 Agustus 1957. Koloni-koloni yang dimaksud adalah Singapura, Brunei, Serawak dan Sabah, Brunei kemudian menolak bergabung dalam federasi ini. Federasi ini direncanakan untuk dibentuk pada tanggal 31 Agustus 1963.
Konfrontasi yang dilakukan oleh pemerintahan Indonesia bukanlah sebuah bentuk deklarasi perang secara formal. Indonesia hanya secara resmi menentang pendirian Federasi Malaysia yang dicurigai merupakan bentuk neo kolonialisme dan imperialisme di Asia Tenggara yang didalangi oleh Inggris. Presiden Soekarno kemudian mengeluarkan pidatonya yang berjudul “Ganyang Malaysia”. Pidato ini kemudian menjadi dasar kebijakan luar negeri Indonesia pada masa konfrontasi dengan Malaysia.
Konfrontasi dengan Malaysia dilakukan dengan berbagai usaha untuk berusaha menentang pembentukan Federasi Malaysia sesuai yang direncanakan dalam Malaysia Agreement pada tahun 1961 (Selanjutnya dapat dilihat lebih jelas di http://www.legislation.gov.uk/ukpga/1963/35/contents). Salah satunya dengan menginfiltrasikan para gerilyawan sukarela untuk membantu perjuangan pemberontak di Serawak dan Sabah yang juga menentang pembentukan Federasi Malaysia. Pemberontak di Serawak tersebut dimotori oleh kelompok komunis di Serawak.
Kebijakan konfrontasi untuk melawan nekolim ini juga diterapkan dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Indonesia secara resmi kemudian mengusir duta besar Malaysia beberapa hari pasca ditandatanganinya Malaysia Agreement pada tanggal 16 September 1963. Pada tanggal 30 Desember 1964, Indonesia menyatakan keluar dari Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagai reaksi atas diangkatnya Malaysia sebagai anggota Dewan Keamanan PBB.
Menurut Vickers dalam A history of Modern Indonesia, Soekarno memiliki visi bahwa kerajaan-kerajaan kuno nusantara adalah pendahulu negara Indonesia. Melalui visi tersebut, Soekarno ingin berusaha mengembalikan kejayaan kerajaan nusantara pada zaman dulu. Lebih lanjut lagi, M. Yamin juga berpendapat bahwa Indonesia merupakan pewaris sah kejayaan Nusantara, yang terdiri atas Sumatra, Kalimantan, Semenenjung Malaya, Jawa, Sulawesi, Kepulauan Selatan, Maluku, dan Irian. Pandangan tersebut membuktikan bahwa Soekarno dan Yamin memiliki semangat ekspansionis dan menganggap bahwa wilayah Semenanjung Malaya dan Kalimantan Utara seharusnya menjadi wilayah Indonesia.
Pada tanggal 17 Agustus 1965, Soekarno mengumumkan terbentuknya poros Jakarta-Pnom Penh-Hanoi-Beijing. Poros ini semakin memperjelas adanya hubungan aliansi antara Indonesia dengan negara-negara blok Timur. Selain itu, terbentuknya poros ini semakin membuktikan bahwa Indonesia sudah masuk ke dalam pengaruh blok Timur dan dianggap mengancam negara-negara blok Barat.
Presiden Soekarno juga membagi dunia menjadi dua, yaitu NEFO dan OLDEFO. NEFO atau New Emerging Forces berarti kekuatan negara-negara baru yang sedang lahir. Sedangkan, OLDEFO atau Old Emerging Forces berarti negara-negara imperalis lama. Negara-negara NEFO terdiri seperti Indonesia, India, Cina, dan lainnya. Sedangkan negara-negara OLDEFO, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan sekutunya. Dalam pembagian dunia ini, Soekarno menganggap bahwa OLDEFO adalah musuh bersama negara-negara NEFO, dan harus dilawan karena juga mengusahakan perlawanan melawan kekuatan imperialistik OLDEFO tersebut.
Pembagian dunia menurut Soekarno ini menandakan bahwa Indonesia saat itu sedang menjauhi negara-negara tertentu dan membentuk kekuatan bersama dengan negara yang dianggap sekelompok dengannya. Hal ini menciptakan sebuah dikotomi “kita melawan mereka” dalam perpolitikan luar negeri Indonesia. Indonesia kemudian membentuk sebuah organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tandingan yang disebut Conefo (Conference of New Emerging Forces) dan menciptakan pertandingan olimpiade tandigan yang disebut Ganefo (Game of the New Emerging Forces).
Perpolitikan luar negeri Indonesia saat itu sudah jelas tidak lagi mencerminkan kepribadian bangsa. Indonesia tidak lagi menjalankan politik yang bebas dan aktif dengan tidak memihak blok manapun. Bahkan, Indonesia sendiri membuat pembagian dunia menurut versinya. Hal ini jelas berlawanan dengan kebijakan luar negeri Indonesia seharusnya. Selain itu, apa yang dilakukan Indonesia dengan politik luar negerinya jelas berpotensi menimbulkan perseteruan atau bahkan konflik ke skala yang lebih besar. konflik politik luar negeri
Pada masa konfrontasi ini terlihat jelas bahwa terdapat pelanggaran terhadap apa yang dicita-citakan dalam konstitusi bangsa. Seharusnya, Indonesia ikut serta dalam melaksanakan perdamaian dunia. Meskipun tidak secara resmi melakukan deklarasi perang, Indonesia tetap membantu usaha-usaha pemberontakan di Malaysia dan telah menciptakan instabilitas regional di Asia Tenggara. Instabilitas regional ini jika semakin membesar berpotensi menciptakan konflik skala global.
Pada masa konfrontasi dengan Malaysia, kebijakan luar negeri Indonesia yang berdasarkan pada usaha untuk menggagalkan pembentukan Federasi Malaysia juga jelas melanggar arah kebijakan luar negeri Indonesia seharusnya. Usaha-usaha untuk menentang neokolonialisme dan imperialisme pada mulanya memiliki semangat yang bagus untuk menciptakan dunia tanpa penjajahan. Namun, sikap Indonesia yang hanya cenderung menentang imperialisme barat sangat menampakkan ironinya saat sesungguhnya Indonesia masuk ke dalam imperialisme Uni Soviet. konflik politik luar negeri
Pada akhirnya, pada masa konfrontasi ini dapat disimpulkan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia telah keluar dari cita-cita bangsa Indonesia seharusnya. Kebijakan luar negeri ini jelas bertentangan dengan prinsip mengusahakan perdamaian dan sikap non-blok seperti yang menjadi semangat Konferensi Asia-Afrika dan Gerakan Non-Blok. Seharusnya, kebijakan luar negeri Indonesia bersikap bebas aktif dan tidak memihak pihak manapun dengan mengusahakan perdamaian dunia. konflik politik luar negeri
Referensi:
Birgerson, Sussanne. (1997). The Evolution of Soviet Foreign Policy in Southeast Asia: Implications for Russian Foreign Policy. Asian Affairs: An American Review, 23(4), 212-234.
Cheah, Boon Kheng. (2002). Malaysia: The Making of a Nation. Institute of Southeast Asian Studies.
Pingback: 5 Alasan Kenapa Belajar Bahasa Perancis